Kabur Aja Dulu

Di tengah tren “kabur aja dulu”, artikel ini mengajak kita merenungkan: apakah benar solusi terbaik selalu pergi? Atau justru Allah masih menyediakan ladang kebaikan di tempat kita berpijak saat ini?

“Kabur aja dulu.”

“Kalau bisa pindah negara, kenapa nggak?”

“Indonesia makin nggak jelas, udah lah pergi aja…”

Narasi ini makin sering kita dengar. Entah dalam obrolan santai, video pendek, atau cuitan viral yang tampak kritis. Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah benar satu-satunya solusi adalah kabur?

Apakah pergi dari Indonesia otomatis menyelesaikan semua masalah?

Ataukah kita hanya sedang kalah oleh ketakutan dan kehilangan harapan?

Indonesia: Negeri yang Penuh Ujian, Tapi Juga Penuh Ladang Amal

Kita tidak menutup mata. Ada banyak hal yang menyedihkan di negeri ini: korupsi, keadilan yang timpang, sistem yang belum adil bagi semua. Tapi… apakah semua negeri di dunia ini tidak punya masalah?

Setiap tempat di bumi adalah ladang ujian—dan bisa juga jadi ladang pahala.

“Barangsiapa yang bersabar atas buruknya akhlak penduduk suatu negeri, maka ia akan menjadi penolong bagi kebaikan.” — makna yang bisa ditarik dari spirit hadits-hadits tentang sabar di tengah kerusakan.

Kalau semua orang baik “kabur duluan”, siapa yang akan memperbaiki?

Bertumbuh dan Beribadah: Masih Bisa di Indonesia

Satu hal yang tak boleh kita ingkari: Kita masih bisa salat dengan aman di masjid. Kita masih bisa belajar Islam secara terbuka. Kita masih bisa bertumbuh dalam iman, bahkan di tengah keterbatasan.

Ini bukan pengabaian terhadap realita, tapi bentuk tawakal—bahwa Allah Maha Kuasa membukakan jalan di tempat mana pun selama kita berniat lurus.

“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Talaq: 2–3)

Bahkan, bisa jadi dengan tetap tinggal dan berjuang di sini, Allah menjadikan kita sebab datangnya kebaikan.

Menjadi Lilin di Tengah Gelap, Bukan Melarikan Diri dari Malam

Meninggalkan tempat lahir bukan dosa. Bahkan hijrah bisa bernilai ibadah—kalau niatnya karena Allah dan sesuai tuntunan. Tapi kalau sekadar lari dari kenyataan, lari dari ujian, atau karena ikut tren? Maka bisa jadi itu bukan solusi, tapi pelarian yang menunda makna hidup kita.

🕯 Jadilah lilin yang menyala di tengah gelap, bukan orang yang menyalahkan malam tanpa pernah menyalakan cahaya.

Islam Tidak Mengajarkan Putus Asa

Nabi Muhammad ﷺ hidup di zaman yang lebih berat. Beliau dan para sahabat tak punya kuasa politik, tak punya keamanan, bahkan dihina dan disakiti. Tapi beliau tetap berjuang dengan sabar, sambil membangun perubahan satu demi satu—bukan dengan kabur, tapi dengan tekad dan iman.

“Janganlah kalian merasa lemah dan bersedih hati, padahal kalian adalah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang beriman.” (QS. Ali Imran: 139)

Jangan Kabur, Tapi Kuatkan Akar

Boleh jadi, sebagian orang memang ditakdirkan hidup di luar negeri dan membawa manfaat. Tapi bagi yang hatinya terpanggil untuk bertahan di sini—jangan pernah merasa salah.

Karena selama kita masih bisa menunaikan salat, menjaga iman, membangun keluarga yang taat, dan memberi manfaat di sekitar—Indonesia adalah ladang amal yang sangat luas.

Kabur bukan selalu salah, tapi bertahan dengan iman juga bukan kalah.

Hidup di Negeri Orang Kafir: Jangan Dianggap Remeh

Dalam semangat zaman sekarang yang memuja mobilitas global, tak jarang kita melihat ke luar negeri sebagai “jalan keluar”. Tapi perlu diingat: Islam tidak memuliakan tempat, tapi memuliakan ketaatan.

Ada hadits yang patut direnungkan:

"Aku berlepas diri dari setiap Muslim yang tinggal di tengah-tengah orang musyrik." (HR. Abu Dawud, no. 2645, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Hadits ini bukan melarang mutlak tinggal di luar negeri. Banyak ulama menjelaskan bahwa maksud hadits ini adalah peringatan keras bagi seorang Muslim yang tinggal di negeri kafir namun:

tidak menjaga identitas keislamannya,

tidak aman dalam beribadah,

tidak memiliki niat atau kemampuan berdakwah,

dan lebih condong terhadap kehidupan yang menjauh dari iman.

Jadi jika kepergian itu justru membuat iman melemah, ibadah berkurang, dan nilai hidup jadi kabur, maka Rasulullah ﷺ memperingatkan kita dengan sangat tegas.

Islam tidak melarang hijrah geografis. Tapi Islam melarang hijrah yang menjauhkan kita dari Allah.

“Barang siapa yang berhijrah karena dunia yang ingin ia dapatkan, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi sebelum berkata, “kabur aja dulu,” coba tanya hati sendiri:

“Kalau aku pergi, imanku lebih kuat atau lebih lemah?” “Kalau aku pindah, anak-anakku lebih dekat ke Islam atau lebih jauh?” “Kalau aku tinggal, bisakah aku jadi bagian dari solusi?”

Bukan tentang di mana kakimu berpijak, tapi ke mana hatimu tertambat.