Saat Dunia Terlalu Riuh, Saya Memilih Diam
Di tengah riuhnya media sosial, tulisan ini merefleksikan pilihan untuk menjaga lisan dan tulisan—membangun nilai dalam diam, dengan dasar iman, tanggung jawab.

Di tengah gegap gempita media sosial hari ini, saya sering merasa asing. Bukan karena saya tak mampu beradaptasi, tapi karena saya sadar: dunia digital sedang sangat riuh. Terlalu banyak suara, terlalu banyak tampilan, terlalu banyak eksistensi yang dipaksakan.
Saya tidak naif—saya tahu masih ada konten yang baik, edukatif, bahkan menyentuh. Tapi mayoritasnya? Panggung pamer. Ajang kompetisi ilusi. Perbandingan demi perbandingan. Dan lambat laun, kita mulai lupa siapa diri kita sebenarnya.
Saya memilih untuk tidak terlibat terlalu dalam. Bukan karena saya tidak bisa. Tapi karena saya tahu ke mana hatiku bisa terseret. Media sosial hari ini bukan hanya tempat berbagi, tapi sudah menjadi tempat bertanding. Siapa yang paling sukses. Siapa yang paling tampan. Siapa yang paling kaya. Tanpa sadar, kita menonton sambil iri, scroll sambil lalai, dan hidup sambil lupa arah.
"Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat." — QS. Qaf: 18
Ayat ini membuatku berpikir ulang. Apa yang kutulis, apa yang kukomentari, dan apa yang kutampilkan—semuanya akan dicatat. Tidak ada yang luput. Saya mulai sadar, betapa digital telah menjebak banyak orang dalam lintasan eksistensi yang semu.
Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kalimat yang diridhai Allah tanpa dia sadari, maka Allah akan mengangkat derajatnya karenanya. Dan seseorang berbicara dengan satu kalimat yang dimurkai Allah tanpa dia sadari, maka dia akan dilemparkan ke neraka sejauh antara timur dan barat." — HR. Bukhari dan Muslim
Saya tidak ingin waktuku habis untuk membuktikan pencapaian. Saya ingin waktuku habis untuk membangun nilai.
Dan ini bukan berarti saya anti teknologi. Tidak. Saya tetap membangun brand, membangun sistem, dan memanfaatkan digital secara strategis. Tapi saya tidak ingin kehilangan jati diri dalam kebisingan algoritma.
"Sesungguhnya orang-orang yang berkata: 'Tuhan kami adalah Allah,' lalu mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka: 'Janganlah kamu merasa takut dan jangan bersedih hati; dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.'” — QS. Fussilat: 30
Karena saya percaya, ketika orang lain sibuk tampil, saya bisa memilih untuk membangun dalam senyap. Dan ketika dunia gempar oleh trending yang fana, saya ingin tetap tenang di jalan yang bernilai abadi.