“Tepuk Sakinah”: Antara Kreativitas dan Sakralitas

September 26, 2025⏱️ 5 min read

Fenomena Tepuk Sakinah belakangan ramai di media sosial dan sebagian KUA. Niatnya untuk edukasi, namun praktiknya justru lebih banyak merendahkan dakwah, mengurangi sakralitas akad, dan menjadikan pernikahan sebagai panggung hiburan. Pernikahan adalah mitsaqan ghalidhan — perjanjian agung, bukan ajang parodi.

“Tepuk Sakinah”: Antara Kreativitas dan Sakralitas

Kritik terhadap “Tepuk Sakinah”: Antara Kreativitas dan Sakralitas

Belakangan ini di media sosial ramai perbincangan soal “Tepuk Sakinah” yang dibawakan oleh sebagian penghulu di acara pernikahan maupun bimbingan nikah. Konon katanya, metode ini dibuat untuk mengingatkan pasangan tentang pilar-pilar rumah tangga, sekaligus sebagai ice breaking agar suasana tidak kaku.

Sekilas niatnya mungkin baik. Namun, menurut saya ada banyak hal yang justru problematis dari “Tepuk Sakinah” ini, sehingga lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.


Nikah Itu Ibadah, Bukan Hiburan

Pernikahan dalam Islam bukanlah sekadar kontrak sosial atau acara seremonial belaka. Ia adalah ibadah dan perjanjian yang agung. Allah ﷻ berfirman:

وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kokoh.” (QS. An-Nisa: 21)

Ayat ini menegaskan bahwa akad nikah adalah mitsaqan ghalidhan — perjanjian besar dan kokoh. Maka seharusnya suasana akad nikah dijaga penuh wibawa, khidmat, dan keseriusan, bukan dipermainkan dengan tepuk tangan atau parodi ala anak-anak.

Nabi ﷺ juga mengajarkan doa yang penuh makna untuk pengantin:

بَارَكَ اللهُ لَكَ، وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ

“Semoga Allah memberkahimu, memberkahi atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. Abu Dawud no. 2130, Tirmidzi no. 1091)

Doa yang penuh kedalaman seperti ini jauh lebih bermanfaat dan bermakna dibandingkan gimmick “tepuk-tepuk” yang ujung-ujungnya hanya jadi hiburan.


Pecicilan dan Tidak Sesuai dengan Adab Orang Dewasa

Tepuk tangan, joget, dan gaya yel-yel lebih cocok untuk anak-anak TK atau SD. Bagi orang dewasa, apalagi dalam forum sakral seperti akad nikah, cara seperti ini terasa cringe, tidak pantas, dan menurunkan wibawa acara.

Ice breaking memang boleh saja, tapi seharusnya yang elegan, sopan, dan sesuai dengan adab kedewasaan. Misalnya dialog ringan, kisah hikmah, atau sekadar doa bersama.


Menggunakan Musik & Jadi Bahan Parodi

• Kalau mengikuti pendapat musik haram, jelas penggunaan musik di forum pernikahan yang mestinya sakral jadi masalah. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

“Akan ada di antara umatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutra, khamr, dan alat musik.” (HR. Bukhari no. 5590)

• Bahkan kalaupun orang lain tidak menganggap musik haram, faktanya “Tepuk Sakinah” justru lebih sering dipakai untuk parodi, hiburan, dan bahan lucu-lucuan di Media Sosial ketimbang benar-benar menginternalisasi pilar rumah tangga.

• Artinya tujuan dakwahnya tidak kena — yang ada malah merendahkan dakwah karena dijadikan bahan candaan publik. Dakwah yang serius berubah jadi lelucon massal.


Mengaburkan Esensi Dakwah

Jika benar tujuannya untuk dakwah, mestinya yang ditekankan adalah ilmu Tauhid, Fiqih Nikah, adab suami-istri, dan bekal rumah tangga Islami.

Bagaimana mungkin orang akan menghadapi masalah rumah tangga dengan mengingat “tepuk sakinah”? Yang dibutuhkan adalah pemahaman:

• Hak dan kewajiban suami-istri,
• Prinsip musyawarah,
• Pentingnya saling menasihati dalam kebaikan,
• dan fondasi tauhid agar rumah tangga kokoh.

Tanpa itu, “tepuk-tepuk” hanya menjadi gimmick kosong.


Risiko Jadi Budaya Latah & Tren Viral

Karena bentuknya catchy, “Tepuk Sakinah” berpotensi dianggap sebagai bagian wajib dari acara nikah. Padahal itu hanya kreasi belaka.

Jika jadi tren viral, masyarakat bisa salah kaprah, seolah pernikahan harus diiringi dengan “tepuk” agar dianggap keren. Tren seperti ini sangat berbahaya karena menggeser fokus dari makna ibadah menjadi sekadar hiburan.


Mengurangi Sakralitas Akad Nikah

Akad nikah adalah momen penuh keagungan. Nabi ﷺ bersabda:

النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Nikah adalah sunnahku. Siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Ibnu Majah no. 1846, shahih)

Bagaimana mungkin sunnah Nabi ﷺ yang mulia ini diturunkan nilainya menjadi ajang “tepuk-tepuk” yang diparodikan? Alih-alih menambah kesan indah, justru mengurangi martabat pernikahan itu sendiri.


Tidak Semua Pasangan Nyaman

Ada pasangan dan keluarga yang menjunjung tinggi adab dan keseriusan. Ketika dipaksa ikut “Tepuk Sakinah”, mereka bisa merasa tidak nyaman atau bahkan tersinggung.

Dakwah yang baik seharusnya adaptif dengan audiens. Rasulullah ﷺ bersabda:

كَلِّمُوا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُولِهِمْ

“Berbicaralah kepada manusia sesuai kadar akalnya.” (HR. Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya, no. 14)

Artinya, metode dakwah harus menyesuaikan keadaan audiens. Memaksa semua orang ikut tepuk-tepuk jelas bertentangan dengan prinsip ini.


Efek Jangka Panjang: Meremehkan Pernikahan

Bahaya terbesar adalah efek ke generasi muda. Jika sejak awal pernikahan diajarkan dengan simbol-simbol lucu dan dangkal, bisa muncul kesan bahwa pernikahan hanyalah ajang seru-seruan, bukan tanggung jawab besar.

Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829)

Suami adalah pemimpin rumah tangga, istri adalah penanggung jawab di dalam rumah, dan keduanya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Maka bagaimana mungkin tanggung jawab besar ini dipermudah dengan gimmick tepuk tangan?


Catatan Terakhir

Saya menghargai niat baik sebagian pihak untuk mencari metode kreatif dalam dakwah dan bimbingan nikah. Namun, kreativitas tidak boleh mengorbankan adab, sakralitas, dan substansi dakwah itu sendiri.

Kalau memang ingin memberikan bekal berharga untuk pengantin, lebih baik fokus pada:

• Ilmu Tauhid,
• Fiqih Nikah,
• Prinsip rumah tangga Islami,
• serta doa dan nasihat yang benar-benar mereka butuhkan ketika menghadapi masalah nyata.

Pernikahan bukan panggung hiburan. Ia adalah mitsaqan ghalidhan — perjanjian agung yang harus dijalani dengan penuh keseriusan, kehormatan, dan doa.